October 28, 2013

Mengapa Penegak Hukum Melanggar Hukum?



Adikku melanggar hukum
Aku yang menjadi saksi
Paman penuntut umum
Ayah yang mengadili
Walau ibu gigih membela,
yang salah diputus salah... (OG "Nasida Ria")


Saat mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar,  ketangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masyarakat banyak yang kaget. Bagaimana mungkin seorang penegak hukum akhirnya justru menjadi pelanggar hukum?

Sebenarnya hal itu sudah jamak. Sejak jaman Orde Baru (Orba) pelanggar hukum dari penegak hukum sudah banyak, hanya tidak bisa terungkap karena berlindung di balik kekuasaan absolut. Sekarang, para penegak hukum yang terlibat kasus mulai terkuak.

Lihat saja kasus yang menimpa Lilik S Haryanto (Direktur Perdata Dirjen Administrasi Hukum Umum), Djoko Susilo (kepala Korps Lalu Lintas Polri), Setyabudi Tejocahyono (wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung), Asmadinata dan Pragsono (Majelis Hakim Tipikor Semarang), Sistoyo (Kepala Subbagian Pembinaan Kejari Cibinong), dan Iwan Siswanto (Kepala Rutan Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok).
Meskipun terbilang sudah lama tetapi mendiskusikan bagaimana para penegak hukum sampai terjerat kasus hukum tetap penting. Mengapa? Pertama, selamanya hukum itu menjadi aturan tertulis yang semua orang berkepentingan, apalagi berkaitan dengan kekuasaan. Kedua, opini bahwa penegakan hukum, meskipun berdampak ringan, tetap harus dilakukan sebagai sebuah pertanggungjawaban kita kepada masyarakat. Opini juga bisa berarti untuk terus melakukan penggalangan. Sebab jika kekuasaan sudah disalahgunakan, opini publik harus bicara.

Mencari Sebab

Ada beberapa alasan mengapa para penegak hukum di Indonesia terlibat kasus hukum.  Indonesia belum menjadi negara hukum, tetapi negara kekuasaan. Dengan kata lain hukum belum menjadi panglima, justru politiklah yang menjadi panglima. Setiap kejadian yang berhubungan dengan “kejahatan negara” direkayasa sedemikian rupa sehingga berada dalam wilayah politis.

Itu mengakibatkan semua lembaga negara dan partai politik berusaha untuk saling menjatuhkan. Partai penguasa dengan segala cara melundungi kekuasaan yang seolah dirongrong masyarakat. Padahal ada kejanggalan-kejanggalan dalam penyelenggaraan negara. Lihat saja komentar-komentar dan campur tangan lembaga eksekutif dalam penanganan kasus KPK. Intinya, lembaga hukum belum menjadi lembaga independen.

KPK bukan lembaga suci yang bebas dari campur tangan negara. Ia lembaga politis yang dibentuk penyelenggara dan diharapkan menguntungkan penyelenggara negara juga. Ini sudah jamak. Lihat juga komentar presiden soal “Bunda Putri”. Partai yang tidak berkuasa juga berusaha bagaimana bisa menjatuhkan pamor partai penguasa. Inilah kalau negara diselenggarakan secara politis. Yang berkuasa meresa dirongrong, yang tidak berkuasa harus merongrong. Jadi setali tiga uang.

Disamping itu, kepentingan politis seringkali menjadi dasar pemilihan pimpinan lembaga hukum.  Saat ada seleksi pimpinan lembaga hukum diwarnai dengan kepentingan-kepentingan politik tertentu. Tak jarang di sini terjadi kesepakatan-kesepakatan politik. Harapannya, jika terpilih nanti kasus-kasus yang melingkari lembaganya pemilih bisa diamankan. Misalnya, partai X menjagokan Y untuk dipilih menjadi pimpinan lembaga hukum. Harapannya, kasus-kasus yang menimpa partai X diharapkan dilindungi oleh Y.

Akibat demikian tidak ada lembaga hukum yang independen. Kalau sudah begini, maka tak ada jaminan setiap penyelesaian kasus hukum bisa diproses dan diputus secara adil. Kalaupun sudah diputus bisa jadi suatu saat nanti akan ‘dimainkan” oleh lembaga lain yang  mempunyai kepentingan.

Apa yang Harus Dilakukan?


Hukum memang harus ditegakkan di tengah penegak hukum yang punya masalah sekalipun. Hukum tidak salah. Jika ada yang mengatakan ada apa dengan hukum kita yang benar adalah ada apa dengan penegak hukum kita. Itu sama dengan ungkapan salah “politik itu kotor”. Bukan politiknya yang kotor, tetapi orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Kalau penegak hukum saja bermasalah apa yang harus dilakukan? Tidak ada strategi jitu dan cepat untuk mengatasinya. Namun demikian, setiap upaya penegakan hukum, sekecil apapun dan ada kepentingan apapun, jelas perlu didukung. Misalnya, meskipun ada yang mencurigai bahwa perilaku KPK itu ditunggangi pihak tertentu, masyarakat tetap perlu mendukung kebijakan KPK. Daripada tidak berbuat apa-apa, bukan? Perkara apakah KPK berani mengusut “Bunda Putri” dan lingkaran presiden bukan berarti setiap langkah KPK harus dijegal hanya karena berpihak. Dengan kata lain, tidak ada alasan tak mendukung KPK meskipun KPK "diancam” Cikeas (misalnya) untuk tak mengupas kasus keluarga presiden itu.

Kekuasaan selamanya memang mencengkeram hukum, produk hukum, dan penegak hukumnya. Menunggu political will (kemauan politik) pemerintah bisa jadi memakan waktu lama. Oleh karena itu menggalang kekuatan massa menjadi pilihan alternatif. Massa itu nanti akan menjadi kekuatan penekan (pressure grup).

Mengampanyekan program antikorupsi, ganyang koruptor, gantung koruptor, dan gerakan lain layak untuk didukung sekecil apapun dampaknya. Salah satu kampanye yang sekarang marak dan berdampak jitu adalah melalui media massa (cetak, elektronik, online).

Hal demikian penting dilakukan karena masyarakat kita sudah melek media. Ini bukan berarti bahwa mereka yang tak melek media tidak perlu dilibatkan. Masalahnya, mereka ini biasanya akan mengikuti apa yang dikatakan oleh kelompok melek media. Jadi, sasaran  pada kelompok melek media berkaitan dengan gerakan kampanye antikorupsi menemukan sasarannya.

Kampanye lewat media massa salah satunya  dilakukan dengan gerakan-gerakan yang bisa diliput media. Alasannya, buat apa gerakan politik yang melibatkan banyak orang kalau akhirnya tidak diliput media?
Dari sinilah akan muncul budaya malu dari politisi, pemegang kekuasaan sampai para penegak hukum. Saat ini, para penegak hukum  tidak punya malu berbuat jahat karena memang sanksi hukum kita tidak tegas dan nyata. Hukum masih dijadikan “pajangan” dengan sanksi menurut kepentingan kekuasaan dan yang punya uang. 




- See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/10/24/58/886087/mengapa-penegak-hukum-melanggar-hukum#sthash.JVew8QQ3.dpuf

Masih zaman sumpah pemuda?






MIRIS. Satu kata tersebut sepertinya layak menggambarkan kondisi pemuda-pemudi masa kini. Hura-hura, tidak mau susah, manja, egois, hingga mau yang serba instan. Seakan era masa kini menggambarkan semua bisa mereka dapatkan dengan mudah. Namun, masihkah mereka ingat akan perjuangan para pendahulunya di periode 1928? Atau mungkin mereka sudah lupa, bahkan tidak ingat.

Sumpah Pemuda yang sudah "mencekoki" otak kita sejak kecil seperti sirna. Terkikis waktu dan zaman karena makin menipis mereka yang menggaungkannya. Perjuangan para "leluhur" pun menjadi tak berbekas. Tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia pun berlalu begitu saja.

Moral pemuda pemudi pun dengan mudah dijual karena sudah tidak ada lagi penghargaan terhadap diri sendiri. Sebut saja dengan maraknya video mesum sejumlah pelajar yang terungkap beberapa waktu belakangan ini. Terlepas dari alasan terpaksa dan dipaksa, perjuangan mereka dalam mempertahankan harga diri pun bisa dibilang keok.

Jika pemuda pemudi era "Sumpah Pemuda" mempertahankan kekokohan bangsa Indonesia, maka pemuda pemudi generasi "alay" mempertahankan kekokohan diri sendiri. Cita-cita meneruskan "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia" perlahan mulai terkikis. Apa yang salah?

Namun, tidak adil rasanya jika hanya menyoroti mereka. Masih banyak pemuda pemudi berprestasi, baik terekspos maupun tidak, yang mengharumkan nama bangsa. Menjunjung tinggi bahasa Indonesia, serta mencintai Indonesia melalui karya-karya mereka.

Kreativitas dan inovatif menjadi kunci mereka dalam membangun bangsa Indonesia. Mulai dari menjadi wirausaha, berprestasi di segala bidang dengan dunia internasional, sampai menjadi juara di negeri sendiri. Tak susah memang, cukup dengan keteguhan hati serta konsistensi yang dipupuk sejak dini, maka mereka akan menjadi pribadi yang bermoral.

Akankah perjuangan Sumpah Pemuda dilanjutkan? Kalau bukan kita, siapa lagi!

Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoewa
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
 

- See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/10/28/59/887884/masih-zaman-sumpah-pemuda#sthash.aaji4JYe.dpuf

kertas kosong tertulis ....

  Hey... aku sengaja tidak menulis apapun Pada saat ulang tahunku di tahun 2023   Aku sengaja mengibaratkan kertas kosong tidak tertul...