Belakangan ini, banyak pejabat negara yang mengingatkan
tentang adanya proxy war atau perang proksi yang mengancam Indonesia.
Sebenarnya, siapa saja musuh proxy yang menyerang Indonesia?
PinterPolitik.com
“Perang tanpa bentuk (proxy war) mengancam Indonesia, karena
negara-negara luar berlomba-lomba ingin menguasai Indonesia yang kaya akan
sumber daya alam.” ~ Jenderal TNI Gatot Nurmantyo
Secara geografis dan geopolitik, Indonesia tidak disangkal
lagi merupakan negara yang sangat strategis. Selain letaknya di garis
Khatulistiwa, Indonesia pun dikaruniai sumber daya alam yang sangat kaya. Tapi
dibalik keberuntungan ini, seperti ucapan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo di atas,
juga dapat menciptakan ancaman.
Sebagai Panglima TNI yang menggantikan Gatot, Marsekal Hadi
Tjahjanto ternyata juga memiliki pandangan dan kekuatiran yang sama.
Menurutnya, ancaman tersebut menjadi sulit ditentukan berdasarkan wilayah dan
geografisnya akibat kemajuan teknologi, komunikasi, sebaran komunikasi dan
manusia, sehingga sulit dikendalikan.
Ancaman kedaulatan negara dengan cara baru ini, dikenal
dengan proxy war atau perang proksi. Perang ini berupa konfrontasi antar dua
kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari
konfrontasi langsung, alasannya untuk mengurangi konflik yang berisiko
menghasilkan kehancuran fatal.
Pelaku utamanya pun biasanya lebih suka menggunakan pihak
ketiga sebagai pemain pengganti, misalnya negara-negara kecil atau non state
actors (aktor tanpa negara) yang bisa berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
organisasi massa (Ormas), kelompok masyarakat, maupun perorangan.
Akibatnya, pihak yang diserang menjadi tidak dapat mengenali
dengan jelas, siapa sebenarnya kawan dan siapa lawan, karena musuh mampu
mengendalikan dari jauh. Kabarnya, proxy war telah berlangsung di Indonesia
melalui berbagai bentuk, seperti gerakan separatis dan isu SARA dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia
belakangan ini, dapatkah kita memperkirakan, siapa atau negara mana sebenarnya
yang memiliki potensi tengah melakukan perang proksi pada Indonesia?
Faktor Penentu Proxy War
“All politic tend to power.” ~ Lord Action
Perang proksi sebenarnya sudah lama dilakukan beberapa negara
adidaya, salah satunya saat perang dingin (cold war) masih berlangsung.
Pertikaian yang kerap terjadi di negara-negara Timur Tengah pun dikabarkan
merupakan akibat dari adanya perang proksi dalam memperebutkan ladang minyak,
begitu juga konflik Arab Spring dan Revolusi Mesir.
Namun perang proksi juga dapat dikatakan sebagai perang
modern, karena pihak penyerang tidak secara fisik ikut andil dalam pertikaian
langsung. Berbeda dengan perang konvensional yang menggunakan kekuatan militer.
Perang langsung ini umumnya membutuhkan dana besar dan kerusakan materil serta
immateril yang tak sedikit.
Dalam perang proksi, pihak penyerang dapat meminimalisir
kerugian melalui berbagai cara, misalnya melalui tekanan politik atau sekedar
mendanai kelompok separatis untuk melakukan pemberontakan. Contoh perang proksi
yang paling nyata dan pernah terjadi di Indonesia, adalah saat terjadinya
referendum Timor Timur.
Disinyalir, lepasnya Timor Timur tak lain akibat adanya peran
Australia yang ingin menguasai cadangan minyak di Celah Timor. Campur tangan
asing yang begitu banyak, termasuk tekanan dari kelompok yang mengatasnamakan
Hak Asasi Manusia (HAM) hingga PBB, pada akhirnya membuat Indonesia bersedia
melepaskan wilayah itu.
Perang proksi menurut Joseph Nye dalam buku Soft Power
Foreign Policy (1990), memang bisa dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu
dengan hard power atau melalui kekuatan militer dan politik. Serta melalui soft
power dengan memanfaatkan tekanan di bidang ekonomi, lembaga donor, atau
melalui teknologi informasi.
Berdasarkan dua pendekatan tersebut, sebenarnya Indonesia
dapat memperkirakan pihak mana yang paling diuntungkan dengan merebaknya isu
atau konflik yang terjadi belakangan ini. Sebab dari semua peristiwa, pasti ada
“tangan-tangan” tak kasat mata yang berkepentingan atau diuntungkan dibaliknya.
‘Musuh Proxy’ Indonesia
“Aku tinggalkan Kekayaan alam Indonesia, biar semua negara
besar dunia iri dengan Indonesia, dan aku tinggalkan hingga bangsa Indonesia
sendiri yang mengolahnya.” ~ Ir. Soekarno
Sudah sejak lama, presiden Indonesia pertama menyadari bahwa
kekayaan alam negeri ini akan mampu membuat negara lain iri. Akibatnya, seperti
yang dikatakan ahli perang Tiongkok Sun Tzu, kekuatan tersebut bisa berubah
menjadi kelemahan. Sebab akibat kekayaan dan posisi geopolitik yang strategis,
Indonesia kerap menjadi target proksi.
Walau Indonesia tergabung dalam negara non blok dan perang
dingin telah berakhir, namun dua kekuatan di dunia – dalam hal ini AS beserta
sekutunya serta Tiongkok dan Rusia, masih terus membayangi. Kedua kekuatan ini,
bisa dibilang sebagai bahaya laten yang bisa menjadi musuh proksi bagi
Indonesia.
Selain itu, Indonesia juga dikelilingi negara-negara yang
kerap mengancam teritori dan kedaulatan bangsa, seperti Australia, Filipina,
dan Malaysia. Belajar dari kasus Timor Timur, konflik Papua kemungkinan besar
dibayangi oleh kekuatan Australia. Masalah HAM dan referendum juga merupakan
isu yang dipakai agar Papua lepas dari Indonesia.
Memanasnya konflik di Papua belakangan ini, juga sangat
mungkin berhubungan dengan upaya Pemerintah yang memaksa Freeport melakukan
divestasi saham 51 persen. Melalui kelompok separatis, AS berupaya membuat
kekacauan agar pemerintah Indonesia tunduk dan membatalkan peraturan tersebut.
Negara-negara pemberi pinjaman serta pendonor terbesar,
seperti Jepang, Singapura, Prancis, Jerman, Korea Selatan, dan Tiongkok, punya
peluang besar memberi tekanan pada kebijakan Indonesia. Termasuk negara-negara
yang tergabung dalam Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan Islamic
Development Bank (IDB).
Di luar itu, kelompok radikal juga sangat mungkin menjadi
musuh proksi Indonesia. ISIS bahkan telah terbukti menggunakan jaringan
sporadisnya untuk melakukan tindakan radikal dan terorisme di Indonesia.
Banyaknya ujaran-ujaran kebencian di media sosial, juga merupakan indikasi
adanya ‘oknum’ yang sengaja ingin memecah belah bangsa.
Cara Pintar Menangkal Proxy
“Proxy war is the cheapest insurance in the world.” ~ Dwight
D. Eisenhower
Begitu banyaknya kemungkinan ‘musuh proksi’ Indonesia,
membuat kekhawatiran Jenderal Gatot dan Panglima TNI Marsekal Hadi menjadi
sesuatu yang sangat beralasan. Apalagi dalam perang ini, serangan musuh tak
mungkin lagi ditangkal menggunakan kekuatan militer, sehingga kekuatan yang
dibangun juga harus bersifat non militer.
Sejauh ini, pemerintah telah berupaya memperkuat bangsa dari
upaya memecah belah rakyat dengan menggunakan isu agama dan ideologi khilafah.
Memang, pernyataan Bung Karno bahwa tidak ada musuh yang dapat mengalahkan
persatuan adalah benar, namun dalam situasi saat ini, persatuan rakyat saja
belumlah cukup.
Untuk menangkal serangan proksi yang datang dengan
menggunakan kekuatan hard power, kekuatan militer dan posisi tawar Indonesia
masih dapat dikatakan cukup menguntungkan. Namun tidak begitu bila serangan
yang dilakukan melalui soft power di mana kondisi ekonomi dan teknologi
informasi Indonesia masih termasuk lemah.
Hingga saat ini, anggaran pembangunan Indonesia masih sangat
tergantung pada pinjaman luar negeri. Begitu juga di sektor bisnis, pada Migas
misalnya, Indonesia masih mengandalkan investasi luar negeri dalam memanfaatkan
kekayaan sumber daya alamnya. Begitu pun di sektor industri dan perdagangan,
Indonesia masih belum mampu mandiri.
Bersyukurlah karena saat ini Indonesia terkenal sebagai
negara dengan hacker terkuat di dunia, sehingga walaupun Menteri Koordinator
Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan Indonesia mendapat jutaan
serangan siber setiap bulannya, masih dapat ditangkal bersama, baik oleh
Departemen Pertahanan maupun pihak swasta.
Oleh karena itu, agar suatu negara mampu menangkal serangan
proksi, R.L. Armitage dan Nye menyarankan untuk membangun kekuatan cerdas
(smart power) yang mampu menghalau dua pendekatan proksi tersebut. Smart power
sendiri merupakan gabungan dari hard power dan soft power.
Jadi selain memiliki kekuatan militer dan politik yang
tangguh, Indonesia juga harus mampu berdikari di bidang ekonomi dan teknologi
informasi. Sehingga dapat disimpulkan, selain persatuan, sebaiknya pemerintah
juga berupaya memperkuat perekonomian Indonesia agar tidak lagi menjadi sasaran
proksi negara lain. (R24)