(Kisah Nyata Pemulung yang
Ingin Menguburkan Anaknya)
Luluh lantak sudah kalbu
Atmo
Mulut pun tiada terucap
Getir terasa perih
Pedih tak terhingga
Atmo terus mengayunkan
langkah kaki
Menyusuri jalan ramai
Hiruk pikuk tak dihiraukan
Dia terus melangkah
Berselimut sarung kumal
digendongnya jasa itu
Ditutup rapi
Ditaruh di depan dadanya
yang datar kurus
Seperti seorang bapak yang
membawa jenasah anak balita
Menuju tanah pekuburan
Lengan satunya mengapit
jemari mungil anak lelakinya
Tak jauh beda dengan usia
jasad anak perempuan yang digendongnya
Langkah kecil si anak
lelaki mengejar
Tak lelah berjalan
mengiringi langkah bapaknya
Baru beberapa saat lalu
Atmo tahu
Putri bungsunya, Annisa,
menutup mata
Untuk selama-lamanya
Hati Atmo menangis
dalam-dalam
Di gerobak, Atmo menutupi
tubuh kecil Annisa
Kakak laki-lakinya belum
terlalu mengerti
Berdua mereka di gerobak
Atmo menarik gerobak
Pikirannya kalut
Hendak dikebumikan dimana
jenasah putrinya?
Dia terus menghela gerobak
Tak ada yang peduli
Orang lalu lalang dengan
kesibukannya
Deru kendaraan mobil dan
motor Cuma melintas
Matahari mulai meninggi
Terlintas di benak Atmo
untuk membawa jenasah putrinya
Ke kampung yang tenteram
Jauh dari hiruk pikuk
Berhenti di depan sebuah
stasiun kerea
Tanpa bekal uang sedikit
pun
Kereta ekonomi, kereta
rakyat
Bisa menumpang tanpa bayar
Bisa duduk merdeka di atap
gerbong
Kereta itu akan
mengantarkan Atmo
Ke tempat tujuan
Atmo meraih jasad putrinya
Diselimuti sarung kumal
Lalu dibopongnya
Diraihnya lengan mungil
anak lakinya
Gerobak yang setia
menemaninya
Ditinggalkan begitu saja
Tak ada harta yang berguna
di dalamnya
Pegawai stasiun
mencegatnya
Ada syakwasangka
Orang mati dibawa
kemana-mana
Tubuh anak kecil
ditengoknya
Tertidur tak bergerak
Tak bernafas
Si pegawai curiga
Orang mati dibawa
kemana-mana
Atmo menjawab hendak
memakamkan di kampung
Dia tahu betapa sulit
menguburkan jasad di kota Jakarta
Apalagi dia bukan penduduk
ber-KTP
Tempat tinggalnya tak
menentu
Menggelandang tak tentu
arah dan tujuan
Atmo tahu betapa mahal
untuk pemakaman
Banyak biaya ini itu
Atmo tak punya apa-apa
Di Jakarta orang melarat
jangan sakit
Jangan pula mati
Waktu semasa hidup susah
Kembali kepada-Nya pun
masih dipersulit
Oh Jakarta hanya pantas
untuk orang berpunya
Tak ada belas kasihan
Pegawai stasiun tak
percanya
Atmo digelandang ke pihak
berwajib
Dia ditanya ini itu
Jenasah anaknya dibawa ke
rumah sakit
Untuk diketahui apa yang
menjadi penyebab nyawanya hilang
Atmo tercenung di pintu
kamar jenazah
Rumah dukua bagi orang
yang kehilangan
Seseorang yang dikasihinya
Niat Atmo hanya sederhana
Ingin menguburkan anak
tercintanya
Di tanah gembur di
kampungnya
Dia tak mengerti mengapa
menjadi sulit seperti ini
Niatnya belum kesampaian
Halangan malah menerpa
***
Di depan kamat mayat Atmo
tercenung
Ingin hatinya menangis
Tapi air mata terkuras
habis
Tak ada yang peduli
Atmo dalam kesendirian
Hanya satu anak lakinya
yang menemani
Di depan kamar mayat Atmo
tak tahu harus berbuat apa
Terkenang masa lalu
keluarganyanya
Ketika masih bersama sang
istri
Keinginan Atmo sangat
sederhana
Sesederhana cara hidupnya
Hidup bersama sang istri
di desa
Rukun dan damai
Hanya sekadar hidup
bersahaja
Lengkaplah dengan
kehadiran dua bua hati
Cintanya dengan sang istri
Terkenang dua buah hatinya
bermain
Lucu menggemaskan
Atmo dan istri mencurahkan
semua kasih sayang yang dimilikinya
Sekalipun hidup sekadarnya
Atmo hanyalah buruh tani
Tak tamat sekolah dasar
Hidupnya bergantung pada
pemilik sawah
Sang istri mengurusi dua
anaknya
Berumah sempit bukan
miliknya
Dapur dan tempat tidur
menyatu
Atmo harus mencukupi
kebutuhan keluarga
Sedikitnya untuk beras dan
lauk tempa tahu
Atmo tetap menjalani
Kehidupan di desa tak
seperti dulu
Tanah sawah luas
membentang
Sekarang sulit mencari
sawah lapang
Berganti perumahan dan
pabrik industri
Petani sawah kian terjepit
Lebih baik menjual sawah
lalu berdagang
Atmo kehilangan lapangan
kehidupan
Kebiasaannya cuma
mencangkul
Sawah tak lagi banyak
Buruh tani malah bertambah
Persaingan kian tajam
Atmo terdesak
Kebutuhan hidup meningkat
Dua anaknya sering
menangis
Menahan perut kelaparan
Atmo mulai kesusahan
Nun di kota sangat
menggoda
Mencari uang lebih gampang
Atmo mengambil keputusan
Meninggalkan desa yang
tenteram
Hijrah ke kota dengan
ketidakpastian
***
Tekadnya membatu
Rumah kecilnya
ditinggalkan
Membawa uang tak seberapa
Berharap lebih nanti di
kota
Istri dan dua anaknya
dibawa serta
Satu yang pasti di kota
harus ada papan
Sandang tak jadi persoalan
Setelah itu pangan
Atmo tak punya kerabat
Untuk menumpang barang
sejenak
Dapat kamar petak untuk
berempat
Bersewa murah di tempat
sesak
Milik ibu Sri di daerah
padat Manggarai
Dekat kali Ciliwung berair
coklat
Atmo tak ada pilihan
Dia butuh papan untuk
berlindung
Dari siang dan
beristirahat malam
Mencari kerja ternyata
susah
Menjadi buruh bangunan dia
tak bisa
Apalagi kerja kantoran,
siapa yang mau terima?
Ada peluang mengumpulkan
barang rongsokan
Barang tak berguna yang
dibuang orang
Memungut di kotak sampah
Mengambil di jalan
Dari rumah ke rumah
Dari jalan ke jalan
Memulung
Menaruh di keranjang di
punggungnya
Lalu menjual ke lapak
Tak ada pekerjaan lain
yang pantas bagi Atmo
Pekerjaan tanpa bekal
keterampilan
Pekerjaan yang paling
mudah
Pekerjaan yang cepat mendatangkan
uang
Pekerjaan yang halal
Memulung
Atmo ikhlas
Ditanggalkannya kenangan
sebagai buruh tani
Kini ia tak memacul tanah
Ia memacul dengan gancok
Sang istri mulai gelisah
Uang yang dibawa pulang
suami tak pernah cukup
Tapi ia tak bisa berbuat
apa-apa
Ingin membantu suami tapi
terlantarkan anak
Sang istri mulai mengeluh
Kontrakan jatuh tempo
Atmo tak ada simpanan
Hasil sehari hanya cukup
untuk makan
Suara tagihan selalu
terdengar
Mengusik ketenteraman hati
Tak tahan selalu didesak
Atmo memilih menggelandang
Istri dan dua anaknya
dibawa kerja
Dengan gerobak sebagai
rumah
Di gerobak itu ibu
mengasuh dua anaknya
Beratap langit luas
Kala siang terik menyengat
Kala hujan menetes air di
perlindungan
Kala malam kedinginan
Mandi kalau ada air
Makan kalau dapat uang
Istri tak pernah memasak
Tak ada kompor di gerobak
Setiap hari Atmo mengela
gerobak
Sesekali berhenti ketika
lelah menghampiri
Sambil memulung
Mengumpulkan barang bekas
Gerobaknya penuh tumpukan
kardus
Ditaruh dekat dua anaknya
Atmo di depan menghela
gerobak
Istri di belakang sambil
mengawasi
Berjalan beriringan di
tengah deru kendaraan
Pagi
Siang
Malam
Jelang malam Atmo mencari
tempat
Kadang di pinggir jalan
Pondok Indah
Gerobak di parkir di
trotoar
Atmo duduk di sebelah
gerobak
Dua anaknya masih bermain
di dalam gerobak
Kadang turun dari gerobak
mencari ibunya
Bercengkerama
Sang istri berada di
sebelah Atmo
Berempat mereka menikmati
nasi bungkus
Nasih dan lauk sekadarnya
Tak ada daging atau ayam
Untuk mengusir lapar
semalaman
Malam hari kendaraan masih
berderet panjang
Mereka bergegas pulang
Suara mesin dan klakson
membuat bising
Di pinggir jalan Atmo
duduk memandang
Kendaraan yang melintas
Tak ada yang peduli
Kendaraan bagus-bagus
Mulus berwarna warni
Penumpang di dalamnya
bersandang rapi
Terlihat renyah
mimik-mimik bahagia
Tak ada yang peduli dengan
gerobak Atmo
Tak ada yang peduli dengan
istri dan dua anak Atmo
Gerobak dan manusia
bagaikan etalase
Hanya pajangan di pinggir
jalan
Sesekali ditoleh setelah
itu dilupakan
Atmo memandang
Orang-orang yang baru
keluar dari rumah makan siap saji
Rumah makan bergambar
daging di tengah roti bundar
Mereka tampak bahagia,
ceria
Tak ada yang peduli dengan
Atmo
Tak ada yang peduli dengan
gerobak Atmo
Tak ada yang peduli dengan
istri dan dua anak Atmo
Tak ada yang peduli dengan
manusia gerobak
***
Atmo tetap menjalani
hidupnya
Tapi tidak bagi istrinya
Sang istri mulai lelah
mendampingi
Berjalan setiap hari tanpa
arah dan tujuan yang pasti
Di tengah terik
Ditermpa hujan
Disergap dingin malam
Hari ini makan
Hari ini cari makan lagi
Besok mencari lagi
Kalau tidak mendapat
apa-apa? Tidak makan
Kasihan kedua anaknya
Tumbuh serba kekurangan
Tidak ada masa depan
Sang istri bergelut
kebimbangan
Sampai akhirnya ia berkata
Ingin berpisah mencari
kehidupan lain
Ia lelah berjalan seharian
Ia tak tahan
Tapi Atmo masih bertahan
Dia tak mau berpisah
dengan sang istri
Suatu malam
Di kala Atmo dan dua
anaknya terlelap
Sang istri pergi
meninggalkannya
Pagi hari Atmo
mencari-cari
Dua anaknya menangis
meraung-raung
Atmo tak tahu jejak dan
rimba sang istri
Di belantara kota
Atmo pasrah
Hatinya menangis
Dia lumatkan kata serapah
Percuma menyesali diri
Dua buah cintanya lebih
utama
Bertiga mereka memendam
duka
Kasih ibu memang terasa
Kekosongan dari asih ibu
Bagi putri bungsunya
Dalam gelimang kehidupan
kotor
Putrinya mulai terkena
penyakit diare
Digeletakannya Annisa
beralas kardus bekas
Atmo mencari bantuan
Uangnya hanya Rp 10.000
Tidak cukup untuk sekadar
berobat ke Puskesmas
Hanya sekali dibawa
berobat
Setelah itu dirawat di
gerobak
Putri bungsunya semakin
lemah
”Pak....,” panggilnya
terdengar lirih
”Ya nak....nanti kita ke
rumah sakit,” sahut lembut Atmo
Atmo terdiam
Putrinya tak lagi bergerak
Matanya terkatup rapat
”Nak...nak...,” Atmo
memeluk erat
Agaknya malaikat telah
datang
”Inna lilah wa inna ilaihi
rojiun”
Atmo menyesali dalam-dalam
Ia tak bisa berbuat
apa-apa
Walau hanya untuk
membahagiakan putrinya
Barang sekejap
Teringat senyum putrinya
Terkenang rengekannya
Menangis
Tertawa
Bermain
Tidur
Atmo mengurai air mata
***
Di depan kamar jenasah
Atmo menerima kembali
jasad putrinya
Dia meraih dengan kedua
tangannya
Dipeluknya jasad itu
Dibawanya keluar
Hari sudah petang
Cerita tentang Atmo
tersebar
Ada manusia gerobak
membawa jasad anaknya
Kabar tersiar di kalangan
pedagang asongan
Tukang parkir, penjual
buah, pengamen
Mereka ikut iba
Dihimpit rezeki
pas-pasanya mereka rela menyisihkan
Untuk disisipkan di tangan
Atmo
Tapi tak cukup untuk
menyewa ambulance
Sopir bajaj mau mengantar
Kemana Atmo berkehendak
Hari menjelang petang
Tak mungkin Atmo berjalan
jauh
Untuk mengubur putrinya
Ke kampung halamannya
Jasad anaknya mesti
dikuburkan segera
Dia kembali ke rumah yang
pernah dikontraknya
Dalam bajaj Atmo memeluk
jasad putrinya
Dan menggandeng lengan
anak lakinya
Atmo menceritakan keluh
kesah seharian
Membawa jasad putrinya
kemana-mana
Ibu Sri tak tahan mengurai
air mata
Mendengar derita Atmo
membawa jenasah
Karena tak berpunya
Cerita tersebar ke
tetangga
Sesama orang miskin
Tapi mereka peduli
Bukankah mengurus jenasah
menjadi kewajiban orang Islam?
Mereka mengurus jenasah
putri Atmo
Dimandikan
Dikafankan
Dishalatkan
Diurus pemakamannya
Disiapkan bunga-bunga nan
semerbak
Dibawa beramai-ramai
Sesama orang miskin
Mengiringi Atmo
Ke tanah pekuburan
Hari hampir gelap
Jenasah dikebumikan
Terdengar adzan dari liang
kubur
Begitu indah
Adzan ketika sosok manusia
dilahirkan
Adzan ketika sudah
berselimut kain kafat
Adzan mengingatkan orang
akan mati
Terdengar iqomah
Serunag untuk mengingat
Allah
Segera menghadap Ilahi
bersembahyang
Dengan ketulisan dan
kepasrahan
Mendengar adzan dan iqomah
mata Atmo berair
Mayat kecil berkain kafan
ditutup papan
Tanah-tanah berhamburan
Sampai membentuk gundukan
Ditaburi kembang-kembang
Hari mulai gelap
Satu per satu pengiring
meninggalkan
Atmo masih terpekur di
kuburan
Berdoa dalam hati
Ditatapnya nisan kayu
Terdengar adzan magrib
Atmo bersyukur
Atmo yakin
Bunga surga telah tenang
di alam sana.....
No comments:
Post a Comment