May 18, 2013

Puisi Manusia Gerobak



(Kisah Nyata Pemulung yang Ingin Menguburkan Anaknya)


Luluh lantak sudah kalbu Atmo
Mulut pun tiada terucap
Getir terasa perih
Pedih tak terhingga

Atmo terus mengayunkan langkah kaki
Menyusuri jalan ramai
Hiruk pikuk tak dihiraukan
Dia terus melangkah

Berselimut sarung kumal digendongnya jasa itu
Ditutup rapi
Ditaruh di depan dadanya yang datar kurus
Seperti seorang bapak yang membawa jenasah anak balita
Menuju tanah pekuburan

Lengan satunya mengapit jemari mungil anak lelakinya
Tak jauh beda dengan usia jasad anak perempuan yang digendongnya
Langkah kecil si anak lelaki mengejar
Tak lelah berjalan mengiringi langkah bapaknya

Baru beberapa saat lalu Atmo tahu
Putri bungsunya, Annisa, menutup mata
Untuk selama-lamanya
Hati Atmo menangis dalam-dalam

Di gerobak, Atmo menutupi tubuh kecil Annisa
Kakak laki-lakinya belum terlalu mengerti
Berdua mereka di gerobak
Atmo menarik gerobak
Pikirannya kalut
Hendak dikebumikan dimana jenasah putrinya?

Dia terus menghela gerobak
Tak ada yang peduli
Orang lalu lalang dengan kesibukannya
Deru kendaraan mobil dan motor Cuma melintas

Matahari mulai meninggi
Terlintas di benak Atmo untuk membawa jenasah putrinya
Ke kampung yang tenteram
Jauh dari hiruk pikuk

Berhenti di depan sebuah stasiun kerea
Tanpa bekal uang sedikit pun
Kereta ekonomi, kereta rakyat
Bisa menumpang tanpa bayar
Bisa duduk merdeka di atap gerbong
Kereta itu akan mengantarkan Atmo
Ke tempat tujuan

Atmo meraih jasad putrinya
Diselimuti sarung kumal
Lalu dibopongnya
Diraihnya lengan mungil anak lakinya
Gerobak yang setia menemaninya
Ditinggalkan begitu saja
Tak ada harta yang berguna di dalamnya

Pegawai stasiun mencegatnya
Ada syakwasangka
Orang mati dibawa kemana-mana
Tubuh anak kecil ditengoknya
Tertidur tak bergerak
Tak bernafas
Si pegawai curiga
Orang mati dibawa kemana-mana

Atmo menjawab hendak memakamkan di kampung
Dia tahu betapa sulit menguburkan jasad di kota Jakarta
Apalagi dia bukan penduduk ber-KTP
Tempat tinggalnya tak menentu
Menggelandang tak tentu arah dan tujuan

Atmo tahu betapa mahal untuk pemakaman
Banyak biaya ini itu
Atmo tak punya apa-apa
Di Jakarta orang melarat jangan sakit
Jangan pula mati
Waktu semasa hidup susah
Kembali kepada-Nya pun masih dipersulit
Oh Jakarta hanya pantas untuk orang berpunya
Tak ada belas kasihan

Pegawai stasiun tak percanya
Atmo digelandang ke pihak berwajib
Dia ditanya ini itu
Jenasah anaknya dibawa ke rumah sakit
Untuk diketahui apa yang menjadi penyebab nyawanya hilang

Atmo tercenung di pintu kamar jenazah
Rumah dukua bagi orang yang kehilangan
Seseorang yang dikasihinya

Niat Atmo hanya sederhana
Ingin menguburkan anak tercintanya
Di tanah gembur di kampungnya

Dia tak mengerti mengapa menjadi sulit seperti ini
Niatnya belum kesampaian
Halangan malah menerpa

***

Di depan kamat mayat Atmo tercenung
Ingin hatinya menangis
Tapi air mata terkuras habis

Tak ada yang peduli
Atmo dalam kesendirian
Hanya satu anak lakinya yang menemani
Di depan kamar mayat Atmo tak tahu harus berbuat apa

Terkenang masa lalu keluarganyanya
Ketika masih bersama sang istri
Keinginan Atmo sangat sederhana
Sesederhana cara hidupnya

Hidup bersama sang istri di desa
Rukun dan damai
Hanya sekadar hidup bersahaja
Lengkaplah dengan kehadiran dua bua hati
Cintanya dengan sang istri

Terkenang dua buah hatinya bermain
Lucu menggemaskan
Atmo dan istri mencurahkan semua kasih sayang yang dimilikinya
Sekalipun hidup sekadarnya
Atmo hanyalah buruh tani
Tak tamat sekolah dasar
Hidupnya bergantung pada pemilik sawah

Sang istri mengurusi dua anaknya
Berumah sempit bukan miliknya
Dapur dan tempat tidur menyatu
Atmo harus mencukupi kebutuhan keluarga
Sedikitnya untuk beras dan lauk tempa tahu
Atmo tetap menjalani

Kehidupan di desa tak seperti dulu
Tanah sawah luas membentang
Sekarang sulit mencari sawah lapang
Berganti perumahan dan pabrik industri
Petani sawah kian terjepit
Lebih baik menjual sawah lalu berdagang

Atmo kehilangan lapangan kehidupan
Kebiasaannya cuma mencangkul
Sawah tak lagi banyak
Buruh tani malah bertambah
Persaingan kian tajam

Atmo terdesak
Kebutuhan hidup meningkat
Dua anaknya sering menangis
Menahan perut kelaparan
Atmo mulai kesusahan

Nun di kota sangat menggoda
Mencari uang lebih gampang
Atmo mengambil keputusan
Meninggalkan desa yang tenteram
Hijrah ke kota dengan ketidakpastian

***

Tekadnya membatu
Rumah kecilnya ditinggalkan
Membawa uang tak seberapa
Berharap lebih nanti di kota
Istri dan dua anaknya dibawa serta

Satu yang pasti di kota harus ada papan
Sandang tak jadi persoalan
Setelah itu pangan
Atmo tak punya kerabat
Untuk menumpang barang sejenak

Dapat kamar petak untuk berempat
Bersewa murah di tempat sesak
Milik ibu Sri di daerah padat Manggarai
Dekat kali Ciliwung berair coklat
Atmo tak ada pilihan
Dia butuh papan untuk berlindung
Dari siang dan beristirahat malam

Mencari kerja ternyata susah
Menjadi buruh bangunan dia tak bisa
Apalagi kerja kantoran, siapa yang mau terima?
Ada peluang mengumpulkan barang rongsokan
Barang tak berguna yang dibuang orang
Memungut di kotak sampah
Mengambil di jalan
Dari rumah ke rumah
Dari jalan ke jalan
Memulung
Menaruh di keranjang di punggungnya
Lalu menjual ke lapak

Tak ada pekerjaan lain yang pantas bagi Atmo
Pekerjaan tanpa bekal keterampilan
Pekerjaan yang paling mudah
Pekerjaan yang cepat mendatangkan uang
Pekerjaan yang halal
Memulung

Atmo ikhlas
Ditanggalkannya kenangan sebagai buruh tani
Kini ia tak memacul tanah
Ia memacul dengan gancok

Sang istri mulai gelisah
Uang yang dibawa pulang suami tak pernah cukup
Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa
Ingin membantu suami tapi terlantarkan anak
Sang istri mulai mengeluh

Kontrakan jatuh tempo
Atmo tak ada simpanan
Hasil sehari hanya cukup untuk makan
Suara tagihan selalu terdengar
Mengusik ketenteraman hati
Tak tahan selalu didesak
Atmo memilih menggelandang

Istri dan dua anaknya dibawa kerja
Dengan gerobak sebagai rumah
Di gerobak itu ibu mengasuh dua anaknya
Beratap langit luas
Kala siang terik menyengat
Kala hujan menetes air di perlindungan
Kala malam kedinginan
Mandi kalau ada air
Makan kalau dapat uang
Istri tak pernah memasak
Tak ada kompor di gerobak

Setiap hari Atmo mengela gerobak
Sesekali berhenti ketika lelah menghampiri
Sambil memulung
Mengumpulkan barang bekas
Gerobaknya penuh tumpukan kardus
Ditaruh dekat dua anaknya
Atmo di depan menghela gerobak
Istri di belakang sambil mengawasi
Berjalan beriringan di tengah deru kendaraan
Pagi
Siang
Malam

Jelang malam Atmo mencari tempat
Kadang di pinggir jalan Pondok Indah
Gerobak di parkir di trotoar

Atmo duduk di sebelah gerobak
Dua anaknya masih bermain di dalam gerobak
Kadang turun dari gerobak mencari ibunya
Bercengkerama
Sang istri berada di sebelah Atmo
Berempat mereka menikmati nasi bungkus
Nasih dan lauk sekadarnya
Tak ada daging atau ayam
Untuk mengusir lapar semalaman

Malam hari kendaraan masih berderet panjang
Mereka bergegas pulang
Suara mesin dan klakson membuat bising
Di pinggir jalan Atmo duduk memandang
Kendaraan yang melintas

Tak ada yang peduli
Kendaraan bagus-bagus
Mulus berwarna warni
Penumpang di dalamnya bersandang rapi
Terlihat renyah mimik-mimik bahagia

Tak ada yang peduli dengan gerobak Atmo
Tak ada yang peduli dengan istri dan dua anak Atmo
Gerobak dan manusia bagaikan etalase
Hanya pajangan di pinggir jalan
Sesekali ditoleh setelah itu dilupakan

Atmo memandang
Orang-orang yang baru keluar dari rumah makan siap saji
Rumah makan bergambar daging di tengah roti bundar
Mereka tampak bahagia, ceria
Tak ada yang peduli dengan Atmo
Tak ada yang peduli dengan gerobak Atmo
Tak ada yang peduli dengan istri dan dua anak Atmo
Tak ada yang peduli dengan manusia gerobak

***

Atmo tetap menjalani hidupnya
Tapi tidak bagi istrinya
Sang istri mulai lelah mendampingi
Berjalan setiap hari tanpa arah dan tujuan yang pasti
Di tengah terik
Ditermpa hujan
Disergap dingin malam

Hari ini makan
Hari ini cari makan lagi
Besok mencari lagi
Kalau tidak mendapat apa-apa? Tidak makan
Kasihan kedua anaknya
Tumbuh serba kekurangan
Tidak ada masa depan

Sang istri bergelut kebimbangan
Sampai akhirnya ia berkata
Ingin berpisah mencari kehidupan lain
Ia lelah berjalan seharian
Ia tak tahan
Tapi Atmo masih bertahan
Dia tak mau berpisah dengan sang istri

Suatu malam
Di kala Atmo dan dua anaknya terlelap
Sang istri pergi meninggalkannya
Pagi hari Atmo mencari-cari
Dua anaknya menangis meraung-raung
Atmo tak tahu jejak dan rimba sang istri
Di belantara kota

Atmo pasrah
Hatinya menangis
Dia lumatkan kata serapah
Percuma menyesali diri
Dua buah cintanya lebih utama

Bertiga mereka memendam duka
Kasih ibu memang terasa
Kekosongan dari asih ibu
Bagi putri bungsunya

Dalam gelimang kehidupan kotor
Putrinya mulai terkena penyakit diare
Digeletakannya Annisa beralas kardus bekas
Atmo mencari bantuan

Uangnya hanya Rp 10.000
Tidak cukup untuk sekadar berobat ke Puskesmas
Hanya sekali dibawa berobat
Setelah itu dirawat di gerobak

Putri bungsunya semakin lemah
”Pak....,” panggilnya terdengar lirih
”Ya nak....nanti kita ke rumah sakit,” sahut lembut Atmo
Atmo terdiam

Putrinya tak lagi bergerak
Matanya terkatup rapat
”Nak...nak...,” Atmo memeluk erat
Agaknya malaikat telah datang
”Inna lilah wa inna ilaihi rojiun”
Atmo menyesali dalam-dalam
Ia tak bisa berbuat apa-apa
Walau hanya untuk membahagiakan putrinya

Barang sekejap


Teringat senyum putrinya
Terkenang rengekannya
Menangis
Tertawa
Bermain
Tidur
Atmo mengurai air mata

***

Di depan kamar jenasah
Atmo menerima kembali jasad putrinya
Dia meraih dengan kedua tangannya
Dipeluknya jasad itu
Dibawanya keluar

Hari sudah petang
Cerita tentang Atmo tersebar
Ada manusia gerobak membawa jasad anaknya
Kabar tersiar di kalangan pedagang asongan
Tukang parkir, penjual buah, pengamen
Mereka ikut iba
Dihimpit rezeki pas-pasanya mereka rela menyisihkan
Untuk disisipkan di tangan Atmo

Tapi tak cukup untuk menyewa ambulance
Sopir bajaj mau mengantar
Kemana Atmo berkehendak
Hari menjelang petang
Tak mungkin Atmo berjalan jauh
Untuk mengubur putrinya
Ke kampung halamannya

Jasad anaknya mesti dikuburkan segera
Dia kembali ke rumah yang pernah dikontraknya
Dalam bajaj Atmo memeluk jasad putrinya
Dan menggandeng lengan anak lakinya

Atmo menceritakan keluh kesah seharian
Membawa jasad putrinya kemana-mana
Ibu Sri tak tahan mengurai air mata
Mendengar derita Atmo membawa jenasah
Karena tak berpunya

Cerita tersebar ke tetangga
Sesama orang miskin
Tapi mereka peduli
Bukankah mengurus jenasah menjadi kewajiban orang Islam?
Mereka mengurus jenasah putri Atmo
Dimandikan
Dikafankan
Dishalatkan
Diurus pemakamannya
Disiapkan bunga-bunga nan semerbak
Dibawa beramai-ramai
Sesama orang miskin
Mengiringi Atmo
Ke tanah pekuburan

Hari hampir gelap
Jenasah dikebumikan
Terdengar adzan dari liang kubur
Begitu indah
Adzan ketika sosok manusia dilahirkan
Adzan ketika sudah berselimut kain kafat
Adzan mengingatkan orang akan mati

Terdengar iqomah
Serunag untuk mengingat Allah
Segera menghadap Ilahi bersembahyang
Dengan ketulisan dan kepasrahan

Mendengar adzan dan iqomah mata Atmo berair
Mayat kecil berkain kafan ditutup papan
Tanah-tanah berhamburan
Sampai membentuk gundukan
Ditaburi kembang-kembang

Hari mulai gelap
Satu per satu pengiring meninggalkan
Atmo masih terpekur di kuburan
Berdoa dalam hati
Ditatapnya nisan kayu

Terdengar adzan magrib
Atmo bersyukur
Atmo yakin
Bunga surga telah tenang di alam sana.....

No comments:

Post a Comment

:)

 Selamat ulang tahun annaku SYFIA NUR SHABRINA ke -3tahun di tahun 2024   semoga Allah SWT mempertemukan kita kelak di dalam Surga Firdaus...