MASYARAKAT suku Sasak
(suku asli di pulau Lombok), di Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, hingga
kini terus melestarikan tradisi leluhur berupa ritual adatRebo Buntung. Tradisi dipercaya
sebagai prosesi ungkapan syukur kepada Tuhan, menolak bala, sekaligus menjaga
harmonisasi manusia dengan alam.
Rebo Buntung yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan
sebagai hari Rabu yang Beruntung, itu tahun ini digelar di pantai Tanjung
Menangis, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, sekitar 65 KM arah timur dari
Kota Mataram, ibukota NTB.
Selain untuk ungkapan kesyukuran dan menolak
bala bencana, ritual tradisi turun temurun ini meninggalkan pesan penting
tentang pentingnya harmonisasi hubungan antar manusia, dan manusia dengan alam
lingkungan.
Rangkaian prosesi ritual adat Rebo Buntung di
pantai Tanjung Menangis, Lombok Timur.
Sejak pagi, di saat
Rebo Butung tiba, pantai Tanjung Menangis di pesisir sebelah selatan pulau
Lombok, nampak padat dipenuhi ribuan masyarakat. Tua-muda, pria-wanita, bahkan
anak-anak, mengunjungi pantai itu dengan membawa bekal makanan. Mereka datang
menggunakan sepeda motor, mobil, dan alat transportasi tradisional Cidomo,
semacam dokar dan delman di Jawa.
Ritual adat Rebo Buntung dilakukan setiap
tahun, tepat di hari Rabu terakhir bulan Safar, dalam hitungan tahun Hijriah,
yang tahun ini jatuh pada Rabu 18 Januari 2012 masehi.
Dalam tradisi turun temurun masyarakat di
Kecamatan Pringgabaya, hari Rabu terakhir di bulan Safar merupakan hari di mana
Tuhan yang maha kuasa akan menurunkan banyak bencana, penyakit dan bencana alam
sebagai ujian bagi manusia dan mahluk ciptaannya di muka bumi.
“Ini tradisi turun-temurun sejak leluhur
kami, bahwa pada Rabu terakhir di bulan Safar ini, aka nada sebanyak 144 macam
bencana diturunkan. Maka untuk menghindari itu, kami harus keluar dari rumah
dari pagi hingga matahari benam. Kita
sebut Rebo Buntung, atau hari rabu yang beruntung,” kata Supriadi (40), warga
Pringgabaya yang ikut mengunjungi pantai Tanjung Menangis bersama istri dan
empat anaknya.
Menurutnya, masyarakat bisa saja memilih
keluar untuk bertani atau bekerja, yang penting meninggalkan rumah. Tapi
umumnya masyarakat memilih hari Rebo Buntung itu untuk menyaksikan ritual adat
Rebo Buntung sekaligus berekreasi di pantai Tanjung Menangis.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tradisi
Rebo Buntung di pantai Tanjung Menangis selalu diisi dengan ritual adat. Sejak
pukul 10.00 Wita para pemuka adat Pringgabaya memimpin masyarakat melakukan
ritual adat bernama Tetulaq Tetampar atau Larung Laut berupa menyerahkan
sesajian ke laut.
Sesajian berupa hasil bumi, buah-buahan, dan
jajanan yang diarak beriringan dari perkampngan menuju pantai. Tapi, yang
paling utama adalah kepala Kerbau berwarna hitam mulus.
Pemuka adat memimpin iring-iringan sesajian
dari pintu masuk ke pantai Tanjung Menangis, hingga menuju sampan yang
disediakan. Selain sarat nuansa ritual, kegiatan ini juga mengundang pengunjung
untuk menyaksikan, karena iring-iringan diramaikan dengan alat musik
tradisional gendang beleq.
Kepala Kerbau dan sesajian pendamping yang
dibawa menggunakan sampan, kemudian dilarung, atau dilepas di tengah laut.
“Kalau kepala Kerbau itu langsung tenggelam,
itu berarti bencana akan pergi jauh. Tapi kalau kepala Kerbau itu muncul lagi
ke permukaan, itu pertanda buruk. Tapi kali ini kami bersyukur karena kepala
Kerbau langsung tenggelam, mudahan negeri ini bebas dari bencana,” kata tokoh
adat Pringgabaya, Lalu Mugis Kamajaya di sela-sela prosesi.
Kamajaya menjelaskan, sesajian yang diberikan
masyarakat pada hari Rebo Buntung itu dipersembahkan sebagai rasa kesyukuran
masyarakat atas hasil bumi dan rejeki yang diberikan Tuhan selama setahun ini.
Masyarakat yang umumnya nelayan dan
menggantungkan hidup di laut, juga mempersembahkan itu sebagai kesyukaran atas
hasil tangkapan, sekaligus memohonkan agar musim dan cuaca saat ini tidak lagi
ekstrim.
“Harapannya agar kita terbebas dari ancaman
bencana alam, penyakit, dan kita diberikan kemudahan rejeki,” katanya.
Menurut Kamajaya, tradisi Rebo Buntung sudah
dilakukan sejak ratusan tahun lalu oleh masyarakat Sasak di Pringgabaya yang
meliputi 14 desa.
Karena keunikan tradisi ini, sejak tahun 2009
lalu, ritual Rebo Buntung di Pringgabaya mulai masuk dalam kalender wisata
Kabupaten Lombok Timur, bahkan termasuk dalam salah satu agenda wisata dari 56
agenda tahunan Dinas Pariwisata NTB.
Sebab, selain ritual yang bernilai sakral,
kini Rebo Buntung sudah menjadi ajang wisata dan hiburan masyarakat setempat.
Usai ritual, masyarakat di hibur dengan pentas musik, tari-tarian, bahkan ada
acara pacuan kuda, dan perisaian.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya,
seremioni tradisi Rebo Buntung tahun ini dihadiri Bupati Lombok Timur, HM
Sukiman Azmy.
Rangkaian prosesi ritual adat Rebo Buntung di
pantai Tanjung Menangis, Lombok Timur.
Dalam sambutannya,
Bupati Sukiman mengatakan, tradisi Rebo Buntung merupakan tradisi yang harus
terus dilestarikan.
“Ini bukan saja sebagai ungkapan kesyukuran
dan tolak bala, tetapi juga mengingatkan pada kita semua bahwa dari dulu kala
para leluhur kita sangat menghargai dan menjaga hubungan harmonis antar manusia
dengan alam,” katanya.
Sukiman mengatakan, dengan tradisi seperti
Rebo Buntung itu masyarakat juga bisa lebih meresapi pesan para leluhur untuk
tetap menjaga kelestarian alam dan lingkungan di sekitarnya.
Menurutnya, ada pesan penting dalam ritual
Rebo Buntung ini, yakni bagaimana masyarakat menjaga keselarasan hidup antar
manusia, dan manusia dengan alam lingkungan.
Salah satu implementasinya, masyarakat
nelayan di Pringgabaya hingga saat ini tak pernah melakukan kegiatan
penangkapan ikan menggunakan potassium atau bom ikan.
“Ini pentingnya menjaga kearifan lokal. Nenek
moyang kita sudah mengajarkan bagaimana kita dan alam bisa saling menjaga. Jika
tidak, ya jelas akan banyak bencana alam,” katanya.
Sayangnya, meski tradisi dan minat kunjungan
sangat tinggi, akses jalan dari jalan utama Pronggabaya menuju pantai sejauh
lebih dari 10 Km masih rusak. Jalanan berlubang dengan aspal yang sudah
pecah-pecah bercampur tanah membuat cukup sulit berkendara ke lokasi itu.
“Kami harap Pemda bisa
lebih peka dengan kondisi jalan ini. Sebab wisatawan akan kesulitan menuju
lokasi ini kalau jalannya rusak. Kondisi ini sudah 3 tahun lebih seperti ini,
akan tambah parah kalau dibiarkan,” kata Lalu Fathurahim, salah seorang warga
Pringgabaya.
No comments:
Post a Comment